Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2011

hidup itu bermain-main

--tersebab anakku yang berbahagia hidup itu bermain-main, ayah: sepasang boneka bebek mengambang di dalam bak mandiku lalu kubuat mereka berenang dan ayah berkuak-kuak sementara membasuh mukaku sehabis sikat gigi hidup ini bermain-main, ayah: bola plastik kita tendang ke sana kemari lalu kita bersorak girang bersama-sama sementara bunda suapkan seujung demi seujung sendok sup ayam, wortel, dan brokoli hingga lewat makan siangku yang membosankan hidup itu bermain-main, bunda: bayang-bayang jemari ayah di dinding kamar menjelma pohon-pohon, garuda, dan bambi si anak kijang yang manis pengantar tidurku hidup itu bermain-main maka bermainlah bersamaku! --Maret-Juni 2011

PLERED IBU KOTA MATARAM

Plered bekas ibu kota Mataram pada masa Amangkurat 1 kini hanya tinggal nama. Tak banyak peninggalan sejarah yang berupa bangunan-bangunan atau benda fisik lain. Artikel singkat ini berupaya memberikan sekelumit gambaran tentang Plered pada masa Amangkurat itu. Ini merupakan hasil sampingan dari riset untuk penulisan novel Gadis-gadis Amangkurat (Maret, 2011, Penerbit Narasi) Kota Indah yang Menyimpan Tragedi PLERED, pusat Kerajaan Mataram masa Amangkurat I (1646-1677) yang terletak +12 km ke arah tenggara dari kota Yogyakarta, dalam imajinasi historis boleh jadi merupakan ibu kota Mataram yang paling cantik dibanding masa sebelum dan sesudahnya. Bayangkanlah sebuah kompleks istana dengan danau buatan yang sangat luas dan batang-batang air di sekelilingnya, juga Pegunungan Seribu sebagai latar belakangnya! Itulah gambaran yang muncul dalam babad-babad dan catatan kolonial Belanda. Namun, di balik keindahannya, Plered adalah panggung sejarah yang pernah mementaskan banyak drama kolo

Perempuan di Titik Koma

Rh. Widada YERMA yang letih mulai membuka lembar-lembar proof [1] itu di meja kecil, dalam kamar kontrakan yang kecil. Dengan cermat ia kemudian membaca, menelusuri huruf demi huruf di dalamnya. Yos, suaminya, memandangnya lekat-lekat sambil berbaring-baring di belakangnya. Teringat Yos akan mimpi buruknya: Yerma menyusut jadi sekecil huruf 12 point. Pada awalnya Yos dan Yerma sangat bahagia ketika Yerma diterima sebagai proof reader di sebuah penerbitan. Meskipun kecil dan baru berkembang, Gabriel Books adalah penerbit yang bergengsi. Yang lebih penting, kini mereka akan mempunyai sumber keuangan lain kecuali dari surat kabar lokal tempat Yos menjadi wartawan. Dan bayangan akan kehidupan rumah tangga yang lebih menyenangkan mengganggu tidur pasangan muda itu. Mereka tertawa dan merasa malu sendiri jika mengenang malam-malam setelah Yerma memasuki hari-hari kerjanya. Satu per satu mereka menyebut barang yang hendak mereka beli nantinya. “Mesin cuci untuk calon ibu,” kata Yos. “

For Elisa

Short Story by Rh. Widada What is a love like that melts a night into a glass of coffee and transforms the soul of an old man into a restless wisp of cigarette smoke? If you want to know the answer, ask Elis! "Norman, please, don't forget this blanket if you're gonna sit on the veranda. The draft, particularly at night, is no good for your rheumatism. Then, quit smoking or cut it down, please, honey?.” Old Norman clammed up, taking a deep puff from his cigarette. He straightened out his legs, resting them on the table. “Norman, do I have to keep on reminding you: Never ever put your legs on the table, please?” Norman said nothing. “Norman, darling....” Hurriedly, Norman pulled his legs down to the floor. “Norman, here's your coffee.” Norman, Norman, Norman. Only God knows how many thousand or million times Elis has called his name since they met in senior high school. And the word “honey” was only added to it in the third love letter after Elis was sure that Norman wa

Haiku Tengah Hujan

Cerpen Rh. Widada Langit malam bermendung tebal. Udara panas. Dengan hentakan keras, Ben membuka   pintu kamar kosnya. Terdengar sesuatu terbentur daun pintu, disusul   suara menguik keras. Pintu terbuka separo. Seekor pudel terguling di depan pintu, kedua kaki depannya meraih-raih udara sebelum akhirnya ia berhasil kembali tegak di atas keempat kakinya yang penuh lumpur.             “Hai ada ‘anak’ tersesat rupanya?” Ben menyapa anjing itu. ”Kecebur di selokan ya Bung!” Si pudel bergidik, maka mencipratlah   lumpur ke mana-mana dari rambut gimbalnya. Sebutir pasir mampir ke mata Ben.”Dasar anjing!” serta-merta Ben mengambil sapu lalu mengayunkannya ke arah perut si pudel. Namun, ayunan sapu itu terhenti demi dilihat oleh Ben rambut gimbal si pudel di sekitar kupingnya. Bercak-bercak di situ bukan lumpur semata. Ada campuran warna merah kecoklatan di sana .             “Kenapa dengan kupingmu Nak? Habis berkelahi dengan preman pasar ya?” Ben membungkuk dan memeriksa kepala si pudel. “